Gagalnya Proses Transformasi

Arus informasi dan pengetahuan secara eksponensial menjadi sangat tersedia dan mudah diakses di seluruh pelosok dunia sejak adanya teknologi internet, fiber optic, dan revolusi jaringan telekomunikasi. Pertumbuhan bisnis baru karena adanya inovasi internet ini terjadi secara eksponensial di akhir 1990 sampai saat ini dan masih akan terus berlanjut. Banjirnya data besar dan informasi ini menimbulkan efek berantai yang fenomenal. Bisa dikatakan revolusi informasi ini mendorong terjadinya akselerasi penemuan produk dan jasa baru. Proses komputasi di berbagai pusat riset teknologi sangat terbantu dengan adanya teknologi super komputer yang dapat mensimulasikan di angka peta triliun kemungkinan. Pemangkasan waktu siklus riset di berbagai bidang rekayasa genetik, quantum mechanics, nano teknologi, biologi molekuler, robotics, neuro science, mendorong inovasi yang sangat radikal di berbagai bidang. Multipel efek dari semua peristiwa ini menuntut cara kita mengelola organisasi dengan pendekatan yang berbeda dibanding periode tahun 1970-2000an. Organisasi dituntut untuk menjadi agile, adaptif dan responsif. Leaders harus menjadi fasilitator dan beroperasi dengan mindset kolaboratif. Otak organisasi tidak lagi harus dianggap ada diatas dan bermukim di para senior. Otak organisasi terletak pada kemampuan kolektif anggota untuk saling bertukar pikir dan menindaklanjuti dengan cepat.

If the rate of change outside exceeds the rate of change inside,                             the end is in sight….

Jack Welch

Framework seperti Process Reenginering, Total Quality Management, Balanced Scorecard tidak bisa lagi menjawab dengan efektif kebutuhan perubahan kinerja organisasi di era VUCA. Pola pendekatan framework tersebut lebih mengacu pada design organisasi yang baik diatas kertas. Tanpa terjadinya perubahan mendasar ditingkat identitas dan mindset para leaders, organisasi akan sangat kesulitan untuk mewujudkan perubahan melalui framework tadi. Kegagalan utama aplikasi balanced scorecard pada umumnya disebabkan karena tidak terjadinya perubahan mindset di diri para leader yang mengaplikasikannya. Balanced scorecard lebih menjadi tool untuk mengelola informasi yang menggambarkan hubungan kausal linear. Balanced scorecard dikembangkan oleh Robert Norton dan David Kaplan yang berawal dari niatan untuk ‘mengukur’ dan ‘mengendalikan’. Filosofinya adalah “what gets measured gets done”. Kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Apa yang sudah ditetapkan sebagai ukuran belum tentu akan mendorong apa yang akan dilakukan. Absennya leadership yang transformatif dan menginspirasi mengakibatkan ukuran menjadi alat yang dipersepsikan oleh karyawan sebagai beban. Dari pengalaman lapangan, penulis menjumpai banyaknya organisasi yang mengeluhkan tidak dapat memperoleh manfaat yang dijanjikan setelah selesai menerapkan balanced scorecard. Gaya kendali dan kontrol justru menjadi lebih kental dalam proses memimpin di organisasi. Orang merasa diikat, diawasi serta ditekan. Mood yang muncul di organisasi menjadi counter produktif dan menghambat tumbuhnya kreatifitas. Sementara dalam era VUCA, leadership yang diperlukan adalah yang membumi ke realitas lapangan. Para leaders ini seyogyanya memiliki kedalaman observasi dan mau mendengarkan dengan mendalam ke setiap stakeholders. Pola ini memerlukan leaders dengan tingkat kesadaran yang baru serta kepekaan empatik strategis yang tinggi. Gaya leadership perlu perubahan diri dari kendali dan kontrol menjadi ‘mengengage’ dan ‘mengempower’. Gaya atau cara memimpin ini menjadi krusial untuk mendukung perubahan budaya organisasi dan membangun response kolektif yang sinergis. Menyadari tantangan seperti ini, para ahli sosiologi, psikologi, behavioral science dan manajemen berusaha untuk meneliti dan menemukan jawaban bagaimana mengatasi tantangan yang sudah mengarah ke krisis organisasi dan leadership di era 2000. Perubahan mendasar atau lebih tepatnya disebut transformasi, menjadi salah satu jawaban kunci untuk menghadapi situasi turbulen VUCA. Transformasi yang dimaksudkan disini adalah perubahan menuju bentuk baru. Perubahan yang tidak akan membawa kembali ke wujud organisme yang lama. Transformasi juga bisa diibaratkan seperti proses metamorfosis kupu-kupu, dimana telur menjadi ulat. Ulat berubah bentuk sebagai kepompong dan akhirnya kepompong menjadi kupu kupu yang siap terbang. Perubahan ini merupakan proses bersifat permanen dan tidak akan kembali ke bentuk asalnya.

Gagalnya Porses Transformasi

Salah satu riset mengenai transformasi organisasi yang bisa dijadikan rujukan terpercaya adalah riset lembaga konsultan ternama, McKinsey, terhadap 1546 eksekutif di seluruh dunia yang dipublikasikan pada jurnal Mckinsey Quarterly 2008. Riset ini mengevaluasi bagaimana organisasi sukses melakukan pembaharuan. Bagaimana organisasi bisa menjalankan perubahan budaya, kinerja dan menjadi perusahaan di pasar global. Dari riset ini ditemukan bahwa hanya 30 persen para eksekutif mengakui perubahan organisasi yang  direncanakan tercapai. Mayoritas 70 persen perubahan di organisasi dinyatakan gagal mencapai sasaran. Penyebab utama dari gagalnya perubahan adalah karena faktor leadership atau kepemimpinan. Ketidaksiapan para pimpinan puncak untuk melakukan perubahan yang dimulai dari dalam diri mereka sendiri menjadi penghambat utama. Perubahan tidak akan terjadi secara otomatis di organisasi. Organisasi adalah suatu benda mati. Organisasi menjadi hidup karena tindakan yang diambil para leadernya. Oleh karena itu perubahan hanya akan terwujud melalui proses transformasi di diri para leaders yang ada di organisasi. Perubahan yang dilakukan dengan fokus ke strategi, struktur, proses, teknologi atau kebijakan tidak otomatis akan mencapai hasilnya tanpa disertai oleh proses perubahan yang perlu berlangsung di dalam diri para leader organisasi tersebut.

2 thoughts on “Gagalnya Proses Transformasi”

Leave a comment